Dis-Equilibrium Demand and Supply Pupuk Kimia; Petani Indonesia Menjerit dan Semakin Miskin
Indonesia merupakan
negara yang mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Sektor pertanian
di Indonesia saat ini masih menjadi ruang untuk rakyat kecil. Lebih dari 100
juta jiwa atau hampir separuh dari jumlah rakyat Indonesia bekerja di sektor pertanian.
Menurut teori klasik Kuznets
mengungkapkan bahwa sektor pertanian mempunyai peran penting dalam
pertumbuhan ekonomi nasional bagi negara berkembang. Peran tersebut diwujudkan
dalam bentuk sumbangan produk, sumbangan pasar, sumbangan tenaga kerja dan
sumbangan devisa.
Pada tahun 1984 pada pemerintahan
Bapak Soeharto, Indonesia berhasil swasembada beras dengan angka produksi
sebanyak 25,8 Ton.
Namun saat ini, kondisi
pertanian semakin memprihatinkan, masih banyak permasalahan di sektor pertanian
yang belum terselesaikan. Di beberapa daerah hasil panen tak lagi melimpah ruah
dan kerap kali mengalami gagal panen.
Serta banyak produk
pertanian di beberapa daerah yang sulit untuk laku di pasaran di tambah lagi
langkanya pupuk kimia bersubsidi yang membuat para petani semakin menjerit dan semakin
terbelenggu dalam rantai kemiskinan.
Setiap individu selalu mendambakan hidup yang sejahtera dan berkecukupan. Namun para petani masih sangat jauh dari kata sejahtera. Hidup para petani terombang-ambing oleh hasil panen yang tak seberapa.
Hidup mereka sudah susah ditambah lagi harga input sektor
pertanian seperti pupuk kimia yang harganya melambung tinggi dan langka di
beberapa tahun terakhir.
Kelangkaan pupuk menjadi
masalah klasik bagi para petani di beberapa tahun terakhir. Hampir di berbagai
desa selalu riuh akan keluhan para petani, bahkan beberapa petani di beberapa
daerah melakukan unjuk rasa untuk mempertanyakan kelangkaan serta menolak
kenaikan harga pupuk subsidi.
Dari data Kementerian menunjukkan bahwa pada
tahun 2019 alokasi pupuk subsidi sebanyak 8,8 juta ton, sedangkan pada tahun
2020 alokasinya hanya sebanyak 7,9 ton saja.
Dari jumlah tersebut
terdapat selisih yang cukup besar yang membuat supply pupuk subsidi ini menjadi kurang dan
menimbulkan kelangkaan. Karena adanya pengurangan alokasi pupuk subsidi maka masalah
pun muncul hingga berdampak pada musim tanam di tahun 2021.
Pihak Kementerian
Pertanian serta PT. Pupuk Indonesia telah buka suara bahwa terdapat hambatan
dalam penyaluran pupuk subsidi. Hambatan itu diantara-Nya karena terbitnya UUD
Nomor 49 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk
menjadi dasar penyaluran pupuk subsidi.
Kelangkaan produk pupuk
kimia di pasaran sebenarnya adalah masalah klasik, pelik dan banyak faktor yang
mempengaruhi, seperti masalah pupuk yang terhambat karena Surat Keputusan (SK)
yang diterbitkan Kepala Dinas Pertanian di Kabupaten/Kota, rumitnya data manual
dan e-RDKK bagi petani yang memiliki hak untuk membeli dengan harga subsidi,
serta adanya faktor politik subsidi dan konsep ketahanan pangan secara ekonomi.
Panjangnya rantai
distribusi pupuk subsidi berdampak pada kenaikan harga pupuk subsidi di mana
sebelum terjadi kelangkaan harga pupuk subsidi hanya sebesar Rp 100.000/karung
namun saat ini harga pupuk mengalami kenaikan sebesar Rp 140.000.
Sementara untuk pupuk
non-subsidi harganya Rp180.000 dan untuk mendapatkan pupuk non-subsidi sangat
sulit karena banyak petani berebutan membeli pupuk serta melakukan spekulasi.
Setiap tahun pemerintah menggelontorkan dana hingga 30 triliun hanya untuk subsidi pupuk saja. Namun sangat disayangkan bahwa ada yang kurang tepat dalam kebijakan penyaluran subsidi pupuk.
Karena subsidi pupuk itu larinya ke pabrik-pabrik pupuk, bukan
ke petani langsung. Kebijakan subsidi yang diberikan ke pabrik tentunya yang
diuntungkan dari kebijakan tersebut adalah pihak industri bukan petani.
Para petani kerap kali
dirugikan dalam hal ini karena adanya kelangkaan pupuk atau harga pupuk di atas
Harga Eceran Tertinggi (HET). Seharusnya pemerintah melakukan evaluasi terhadap
program subsidi pupuk agar dapat berjalan dengan efektif dan tepat sasaran.
Adapun langkah yang
dilakukan oleh pihak kementerian pertanian untuk mengatasi kelangkaan pupuk
subsidi adalah dengan pemrogram kartu tani dan program Electronic
Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Elektronik (e-RDKK).
Hemat penulis, harusnya para pemangku kebijakan bukan hanya memberikan solusi dari permasalahan tersebut melalui kartu tani.
Tetapi mereka juga harus aktif untuk mensosialisasikan
kepada masyarakat dampak penggunaan pupuk kimia terhadap lingkungan secara
berkepanjangan. Para petani harus diberi pemahaman serta bimbingan dalam pemanfaatan
pupuk organik yang ramah lingkungan melalui pemberdayaan kelompok tani.
Selain karena pupuk organik
ramah lingkungan harganya pun tidak mencekik para petani karena beberapa bahan
dasarnya telah tersedia secara gratis sehingga untuk mengolahnya hanya memerlukan
cost yang minim.
Pemanfaatan pupuk organik
ini dapat mengurangi limbah pertanian dan peternakan serta mengurangi ketergantungan
pada pupuk kimia, sehingga permintaan dari pupuk kimia bisa turun hingga
kembali mencapai tingkat ekuilibriumnya.
Penulis :
Hasnia
(Mahasiswa Ilmu Ekonomi UIN Alauddin Makassar)
Posting Komentar